Mahasiswa Minangkabau Protes Film Hanung

SURAT PEMBACA,  (TRIBUNEKOMPAS) 

-- SEJAK satu minggu terakhir, bioskop-bioskop tanah air diramaikan oleh berbagai film produksi dalam negeri, salah satunya adalah film yang berjudul “Cinta Tapi Beda” besutan sutradara Hanung Baramantyo yang sering menuai kontroversi karena ide-ide absurd dalam beberapa karyanya. Film ini menceritakan kisah percintaan muda-mudi berbeda agama, yang dilakoni oleh perempuan minang bernama diana yang menganut katholik taat dengan Cahyo, seorang muslim taat keturunan jawa.

Saya sebagai Ketua “Bundo Kandung” di Keluarga Mahasiswa Minangkabau (KMM jaya). Perempuan yang dibesarkan di Minangkabau, sungguh sangat menyesalkan dan mengecam jika penayangan film ini dengan menggunakan suku dan agama sebagai alat untuk meraup keuntungan bagi pihak-pihak terkait di dalamnya.

Pesan yang disampaikan pada film tersebut sangat berbeda jika ditinjau dari identitas religiusitas dan kultur masyarakat Minangkabau, dengan filosofinya “Adat Basandi Syarak, Syarak basandi kitabullah (adat bersendi syariat, syariat bersendi khitabullah) serta dilihat dari kearifan budaya adat Minangkabau yang meletakkan penghormatan kepada kaum ibu/perempuan hingga memakai sistem matrilineal, yang tidak heran jika negeri Minangkabau sering disebut negeri kaum perempuan yang taat beragama.

Minangkabau tidak hanya dikenal sebagai masyarakat matrilineal terbesar di dunia, namun juga dikenal sebagai salah satu masyarakat  ‘fanatik Islam’ di Indonesia, negara dengan populasi penduduk beragama Islam terbesar di dunia dan terintegrasinya Islam dalam Adat Minangkabau dapat dilihat dari cara orang-orang Minangkabau mendefinisikan diri mereka sendiri.

Dapat dilihat juga dari terbentuknya adat islamiyah, yang berarti adat yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip Islam sebagai adaik nan sabana adaik (adat yang benar-benar adat yang sesungguhnya). Maka karena alasan tersebut diatas disimpulkan bahwa matrilineal dan Islam merupakan dua pilar identitas minangkabau yang tidak bisa dipisahkan.

Pada film “Cinta Tapi Beda” walau pesan suku dan agama tidak begitu dalam namun dapat kita lihat bahwa film tersebut merepresentasikan kaum perempuan Minangkabau sangat bertolak belakang dengan perpaduan adat dan agama pada kedudukan perempuan di Minangkabau, di mana adat terutama berupa norma-norma sosial yang bersifat etik dan Islam sebagai satu-satunya agama sakral yang menjadi nilai-nilai jati diri perempuan Minangkabau.

Perempuan Minangkabau memiliki kedudukan yang mulia, memiliki kebesaran dan bertuah. Katanya didengar anak cucu. Dari turunannya diangkat para penghulu dan ninik mamak. Jika masih hidup tempat berniat. Ketika sudah mati tempat bernazar, jadi payung panji ke sorga, sesuai ajaran syarak, sorga terletak dibawah telapak kaki ibu (al Hadist). Karena peran-peran mereka yang sangat signifikan tersebut, perempuan Minangkabau disimbolkan sebagai ‘limpapeh Minang, ranah Pagaruyuang’ (pilar utama Minangkabau, tanah Pagaruyung).

Maka penggambaran tokoh perempuan dalam film cinta tapi beda merupakan pelecehan dan pemalsuan yang menjungkirbalikkan terhadap identitas kultur dan keagamaan masyarakat Minangkabau  - khususnya perempuan Minangkabau - yang tidak bisa ditolerir. Sekalipun ada tanggapan dari hanung bramantyo akan menarik film tersebut namun terkait peran diana sebagai perempuan padang bukan minang, itu merupakan alasan yang sangat klasik.

Untuk itu kami Keluarga Mahasiswa Minang Jaya (KMM Jaya) bersama Ikatan Pemuda Pemudi Minangkabau Indonesia (IPPMI) dan Badan Koordinasi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Alam Minangkabau (BK3M) selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Zulhendri Hasan, SH, MH, pada hari ini melaporkan ke Polda Metro Jaya Hanung dkk.


Rian Novalia Sumantri
Ketua Bidang “Bundo Kanduang” Keluarga Mahasiswa Minang  Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar